BAB I
PENDAULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah suatu masyarakat
patriarkhal, dan kondisi ini tidak dapat diingkari, seperti juga di
negara-negara lain di dunia. Partriarkhal sebagai suatu struktur komunitas di
mana kaum lelaki yang memegang kekuasaan, dipandang sebagai struktur yang
memperlemah perempuan, yang terlihat dalam kebijakan pemerintah maupun dalam
perilaku masyarakat.
Kecenderungan untuk membayar upah buruh
wanita di bawah upah buruh pria dan perumusan tentang kedudukan istri dalam
perkawinan, merupakan salah satu cerminan keberadaan perempuan dalam posisi
subordinat pria. Salah satu fenomena yang menjadi perhatian besar masyarakat
akhir-akhir ini, bahkan juga masyarakat internasional, adalah tindak kekerasan terhadap
perempuan.
Maka dari itu, dalam makalah ini kelompok kami akan membahas lebih lanjut
mengenai kekerasan terhadap perempuan.
1.2 Rumusan Masalah
Untuk lebih mengarah
kepada tujuan yang hendak dicapai dalam penyusunan
makalah ini, maka kami membatasi masalah yang akan disajikan yaitu sebagai berikut:
1.
Apa yang dimaksud kekerasan terhadap
perempuan?
2.
Apa saja bentuk-bentuk kekerasan terhdap
perempuan?
3.
Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan
terjadinya kekerasan terhadap
perempuan?
4.
Apa saja macam-macam kekerasan terhadap
perempuan?
5.
Bagaimana dampak kekerasan terhadap
perempuan?
6.
Bagaimana pencegahan dan penanggulangan
kekerasan terhadap perempuan?
1.3 Maksud dan Tujuan
Sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan bahwa setiap kelompok wajib membuat makalah sebagai salah satu tugas
Mata Kuliah Kesehatan Reproduksi yang memiliki tujuan :
1.
Dapat mengetahui definisi kekerasan
terhadap perempuan
2.
Dapat mengetahui bentuk-bentuk kekerasan
terhdap perempuan
3.
Dapat mengetahui faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap perempuan
4.
Dapat mengetahui macam-macam kekerasan
terhadap perempuan
5.
Dapat mengetahui dampak kekerasan
terhadap perempuan
6.
Dapat mengetahui pencegahan dan
penanggulangan kekerasan terhadap perempuan
1.4 Pembatasan Masalah
Dalam penyusunan makalah ini saya
membatasi ruang lingkup bahasan mengenai Kekerasan yang lebih khususnya
mengenai Kekerasan Terhadap Perempuan supaya isi dari makalah ini dapat
terfokus pada pembahasannya.
1.5 Metodologi Penulisan
Metode yang digunakan
dalam penulisan yang berhubungan dengan masalah
yang di bahas dalam makalah ini yaitu dengan pengumpulan data dari internet.
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematika yang
digunakan dalam penulisan makalah ini BAB
I PENDAHULUAN yang terdiri atas latar belakang , rumusan
masalah, maksud dan tujuan,
pembatasan masalah, metode penulisan,
dan sistematika penulisan.
Dalam
BAB II
LANDASAN TEORI terdiri dari definisi kekerasan, macam-macam
kekerasan dan usaha
mengatasi kekerasan.
Dalam BAB III PEMBAHASAN terdiri dari definisi kekerasan terhadap perempuan,bentuk-bentuk
kekerasan terhdap perempuan,faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan,macam-macam
kekerasan terhadap perempuan,dampak kekerasan terhadap perempuan serta pencegahan
dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan.
Dalam BAB IV PENUTUP terdiri dari
Kesimpulan dan Saran
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Definisi Kekerasan
Istilah kekerasan berasal dari bahasa
Latin violentia, yang berarti keganasan, kebengisan, kedahsyatan, kegarangan,
aniaya, dan perkosaan (sebagaimana dikutip Arif Rohman : 2005). Tindak
kekerasan, menunjuk pada tindakan yang dapat merugikan orang lain. Misalnya,
pembunuhan, penjarahan, pemukulan, dan lain-lain. Walaupun tindakan tersebut
menurut masyarakat umum dinilai benar. Pada dasarnya kekerasan diartikan
sebagai perilaku dengan sengaja maupun tidak sengaja (verbal maupun nonverbal)
yang ditujukan untuk mencederai atau merusak orang lain, baik berupa serangan
fisik, mental, sosial, maupun ekonomi yang melanggar hak asasi manusia,
bertentangan dengan nilainilai dan norma-norma masyarakat sehingga berdampak
trauma psikologis bagi korban. Nah, cobalah temukan minimal lima contoh tindak
kekerasan yang ada di sekitarmu
Menurut Thomas Hobbes, kekerasan
merupakan sesuatu yang alamiah dalam manusia. Dia percaya bahwa manusia adalah
makhluk yang dikuasai oleh dorongan-dorongan irasional, anarkis, saling iri,
serta benci sehingga menjadi jahat, buas, kasar, dan berpikir pendek. Hobbes
mengatakan bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lain (homo homini lupus).
Oleh karena itu, kekerasan adalah sifat alami manusia. Dalam ketatanegaraan,
sikap kekerasan digunakan untuk menjadikan warga takut dan tunduk kepada
pemerintah. Bahkan, Hobbes berprinsip bahwa hanya suatu pemerintahan negara
yang menggunakan kekerasan terpusat dan memiliki kekuatanlah yang dapat
mengendalikan situasi dan kondisi bangsa.
Kekerasan merujuk pada tindakan agresi
dan pelanggaran (penyiksaan, pemerkosaan, pemukulan, dll.) yang menyebabkan
atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, dan -
hingga batas tertentu - kepada binatang dan harta-benda. Istilah "kekerasan"
juga berkonotasi kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak.
Kekerasan pada dasarnya tergolong ke
dalam dua bentuk-kekerasan sembarang, yang mencakup kekerasan dalam skala kecil
atau yang tidak terencanakan, dan kekerasan yang terkoordinir, yang dilakukan
oleh kelompok-kelompok baik yang diberi hak maupun tidak - seperti yang terjadi
dalam perang (yakni kekerasan antar-masyarakat) dan terorisme.
Kekerasan (violence) adalah ancaman atau
penggunaan kekuatan fisik untuk menimbulkan kerusakan pada orang lain.
2.2 Macam-Macam Kekerasan
Tidak dimungkiri tindak kekerasan sering
terjadi dalam kehidupan masyarakat. Tindak kekerasan seolah-olah telah melekat
dalam diri seseorang guna mencapai tujuan hidupnya. Tidak mengherankan jika
semakin hari kekerasan semakin meningkat dalam berbagai macam dan bentuk. Oleh
karena itu, para ahli sosial berusaha mengklasifikasikan bentuk dan jenis
kekerasan menjadi dua macam, yaitu:
Berdasarkan bentuknya, kekerasan dapat
digolongkan menjadi kekerasan fisik, psikologis, dan struktural.
1.
Kekerasan fisik yaitu kekerasan nyata
yang dapat dilihat, dirasakan oleh tubuh. Wujud kekerasan fisik berupa
penghilangan kesehatan atau kemampuan normal tubuh, sampai pada penghilangan
nyawa seseorang. Contoh penganiayaan, pemukulan, pembunuhan, dan lain-lain.
2.
Kekerasan psikologis yaitu kekerasan
yang memiliki sasaran pada rohani atau jiwa sehingga dapat mengurangi bahkan
menghilangkan kemampuan normal jiwa. Contoh kebohongan, indoktrinasi, ancaman,
dan tekanan.
3.
Kekerasan struktural yaitu kekerasan
yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan menggunakan sistem, hukum,
ekonomi, atau tata kebiasaan yang ada di masyarakat. Oleh karena itu, kekerasan
ini sulit untuk dikenali. Kekerasan struktural yang terjadi menimbulkan
ketimpangan-ketimpangan pada sumber daya, pendidikan, pendapatan, kepandaian,
keadilan, serta wewenang untuk mengambil keputusan. Situasi ini dapat memengaruhi
fisik dan jiwa seseorang Biasanya negaralah yang bertanggung jawab untuk
mengatur kekerasan struktural karena hanya negara yang memiliki kewenangan
serta kewajiban resmi untuk mendorong pembentukan atau perubahan struktural
dalam masyarakat. Misalnya, terjangkitnya penyakit kulit di suatu daerah akibat
limbah pabrik di sekitarnya atau hilangnya rumah oleh warga Sidoarjo karena
lumpur panas Lapindo Brantas. Secara umum korban kekerasan struktural tidak
menyadarinya karena sistem yang menjadikan mereka terbiasa dengan keadaan
tersebut.
Berdasarkan pelakunya, kekerasan dapat
digolongkan menjadi dua bentuk, yaitu:
1. Kekerasan
individual adalah kekerasan yang dilakukan oleh individu kepada satu atau lebih
individu. Contoh pencurian, pemukulan, penganiayaan, dan lain-lain.
2. Kekerasan
kolektif adalah kekerasan yang dilakukan oleh banyak individu atau massa.
Contoh tawuran pelajar, bentrokan antardesa konflik Sampit dan Poso, dan
lain-lain.
Berdasarkan
umur kekerasan dibagi menjadi :
Ø Sebelum
lahir : abortus, pemukulan perut.
Ø Bayi :
pembunuhan dan penelantaran, penyalahgunaan fisik, seks dan psikis.
Ø Pra
remaja : Perkawinan usia anak,
inses, fisik, seks, psikis, pelacuran, pornografi..
Ø Remaja
dewasa : kekerasan, pemaksaan seks, inses, pembunuhan oleh pasangan, pelacuran,
pelecehan seks.
Ø Usia
lanjut : fisik, seks, psikis.
Tempat
kekerasan :
1. Rumah tangga.
2. Tempat kerja atau sekolah.
3. Daerah konflik atau pengungsian.
4. Jalanan.
Pelaku kekerasan adalah harus merupakan
subyek hukum (baik orang maupun badan hukum). Dengan demikian suatu system
sosial tertentu yang dapat merugikan perempuan tidak dapat dikatagorikan
sebagai pelaku kekerasan karena system yang itu dibuat oleh subyek hukum. Akan
tetapi kumpulan dari subyek hukum (masyarakat) dapat pula dipertimbangkan
sebagai pelaku kekerasan, termasuk pihak yang menciptakan suatu system hukum
tertentu.
Berdasarkan urian tersebut dapat
dipahami bahwa pelaku kekerasan tidak saja kaum pria tetapi perempuan dapat
juga dikatogorikan pelaku kekerasan. Hal ini dapat dimengerti karena tempat
terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam lingkungan rumah tangga atau di
luar rumah.
2.3 Usaha Mengatasi Kekerasan
Kini tindak kekerasan menjadi tindakan
alternatif manakala keinginan dan kepentingan suatu individu atau kelompok
tidak tercapai. Terlebih di Indonesia, kekerasan melanda di segala bidang
kehidupan baik sosial, politik, budaya, bahkan keluarga. Walaupun tindakan ini
membawa kerugian yang besar bagi semua pihak, angka terjadinya kekerasan terus
meningkat dari hari ke hari. Oleh karena itu, berbagai upaya dilakukan untuk
mencegah semakin membudayanya tindak kekerasan. Upaya-upaya tersebut
(sebagaimana dikutip Arif Rohman: 2005) antara lain:
a. Kampanye Anti-Kekerasan
Dilakukannya kampanye antikekerasan
secara terusmenerus mendorong individu untuk lebih menyadari akan akibat dari
kekerasan secara global. Melalui kampanye setiap masyarakat diajak untuk
berperan serta dalam menciptakan suatu kedamaian. Dengan kedamaian individu
mampu berkarya menghasilkan sesuatu untuk kemajuan. Dengan kata lain, kekerasan
mendatangkan kemunduran dan penderitaan, sedangkan tanpa kekerasan membentuk
kemajuan bangsa.
b. Mengajak Masyarakat untuk
Menyelesaikan Masalah Sosial dengan Cara Bijak
Dalam upaya ini pemerintah mempunyai
andil dan peran besar. Secara umum, apa yang menjadi tindakan pemimpin, akan
ditiru dan diteladani oleh bawahannya. Jika suatu negara menjauhkan segala
kekerasan dalam menyelesaikan suatu masalah sosial, maka tindakan ini akan
diikuti oleh segenap warganya. Dengan begitu, semua pihak berusaha tidak
menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah yang akhirnya membawa
kedamaian dalam kehidupan sosial.
c. Penegakan Hukum secara Adil dan
Bersih
Sistem hukum yang tidak tegas mampu
memengaruhi munculnya tindak kekerasan. Hal ini dikarenakan perasaan jengkel
manakala keputusan hukum mudah digantikan dengan kekuatan harta. Sedangkan
mereka yang tidak berharta diperlakukan kasar serta tidak manusiawi.
Kejengkelan melihat ketidakadilan ini mendorong munculnya tindak kekerasan.
Oleh karena itu, penataan sistem penegakan hukum yang adil dan tegas mampu
mengurangi meningkatnya angka kekerasan yang terjadi.
d. Menciptakan Pemerintahan yang Baik
Sebagian besar kekerasan yang terjadi di
Indonesia dikarenakan cara kerja pemerintah yang kurang memuaskan. Perasaan
tidak puas mendorong masyarakat melakukan tindak kekerasan sebagai wujud
protes. Oleh karena itu, menciptakan pemerintahan yang baik salah satu upaya
tepat dan utama mengatasi kekerasan. Upaya ini dilakukan dengan cara menyusun
strategi dan kebijakan yang dirasa adil bagi rakyat, sehingga rakyat dapat
memenuhi setiap kebutuhan hidupnya tanpa ada perasaan tidak adil.
Kekerasan dan kemiskinan, munculnya
kekerasan akibat kemiskinan dapat diatasi dengan pemberian kesejahteraan hidup
yang lebih baik dan pemberdayaan masyarakat agar tidak menggantungkan diri terhadap orang
lain, jaminan kesejahteraan sosial, asuransi kesehatan, biaya pendidikan yang
murah, harga kebutuhan pokok yang terjangkau, dsb.
Kekerasan di sekolah, antara lain
diatasi dengan cara pihak pengajar yang
bertanggung jawab atas keberadaan siswa/mahasiswa di sekolah/kampus tentunya
bertanggung jawab untuk menghentikan kegiatan - kegiatan yangtidak bertanggung
jawab tersebut. Pihak orang tua siswa/mahasiswa juga bertanggung jawab untuk
melarang anak-anaknya mengikuti acara-acara yang tidak jelas maksud dan
tujuannya. Tetapi yang terpenting adalah sikap dari anak didik itu sendiri yang
harus dapat menolak kegiatan-kegiatan
semacam itu, mereka bukanlah pihak yang sepenuhnya tidak berdaya. Sekali mengikuti acara kekerasan semacam itu,
psikologi dan idealisme mereka akan
berubah arah.
Kekerasan dalam olah raga dapat diatasi
dengan adanya kesadaran pihak
terkait (pemain, penonton dan wasit) agar mampu menjaga sportivitas dalam olah
raga, siap kalah dan siap menang.
Komisi Nasional Perlindungan Anak mendesak
pemerintah untuk benar-benar
melaksanakan kewajibannya dalam menghentikan kekerasan, penelantaran,
diskriminasi dan eksploitasi terhadap anak. Komnas juga mendesak pemerintah untuk memberi alokasi anggaran khusus untuk
anak-anak korban kekerasan. Anak Indonesia harus memperoleh jaminan untuk memperoleh aksesbilitas layanan
kesehatan, pendidikan, kelangsungan hidup, tumbuh
kembang serta hak partisipasi baik secara fisik maupun psikis.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Definisi Kekerasan Terhadap Perempuan
Komnas Perempuan (2001) menyatakan bahwa
kekerasan terhadap perempuan adalah segala tindakan kekerasan yang dilakukan
terhadap perempuan yang berakibat atau kecenderungan untuk mengakibatkan
kerugian dan penderitaan fisik, seksual, maupun psikologis terhadap perempuan,
baik perempuan dewasa atau anak perempuan dan remaja. Termasuk didalamnya ancaman, pemaksaan maupun
secara sengaja meng-kungkung kebebasan perempuan. Tindakan kekerasan fisik,
seksual, dan psikologis dapat terjadi dalam lingkungan keluarga atau
masyarakat.
Sebagian besar perempuan sering bereaksi
pasif dan apatis terhadap tindak kekerasan yang dihadapi. Ini memantapkan kondisi tersembunyi
terjadinya tindak kekerasan pada istri yang diperbuat oleh suami. Kenyataan ini menyebabkan minimnya respon
masyarakat terhadap tindakan yang dilakukan suami dalam ikatan pernikahan. Istri memendam sendiri persoalan tersebut,
tidak tahu bagaimana menyelesaikan dan semakin yakin pada anggapan yang keliru,
suami dominan terhadap istri. Rumah
tangga, keluarga merupakan suatu institusi sosial paling kecil dan bersifat
otonom, sehingga menjadi wilayah domestik yang tertutup dari jangkauan
kekuasaan publik.
Kekerasan terhadap perempuan adalah
setiap tindakan yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan-penderitaan pada
perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan
tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik
yang terjadi di depan umum atau dalam lingkungan kehidupan pribadi.
Kekerasan terhadap perempuan merupakan
penyebab kematian ke-10 bagi perempuan usia subur pada tahun 1998. Diperkirakan
sekitar 2-3 juta perempuan diperdagangkan di berbagai penjuru dunia per tahun
dan paling sedikit satu di antara lima penduduk perempuan dalam kehidupannya
pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual yang dilakukan oleh laki-laki,
demikian hasil penelitian Depkes RI, 2001.
Laporan WHO tahun 2002 mengenai
“Violence and Health” (Kekerasan dan Kesehatan) menunjukkan kualitas kesehatan
perempuan menurun drastis akibat kekerasan yang dialaminya. Hal tersebut
dibuktikan bahwa antara 40-70 % perempuan yang meninggal karena pembunuhan,
umumnya dilakukan oleh mantan atau pasangannya sendiri. 3 Studi yang dilakukan
WHO di 10 negara menunjukkan 15-71% wanita mengalami kekerasan fisik atau
seksual yang dilakukan oleh suami atau pasangannya.
Hingga saat ini Indonesia belum
mempunyai statistik nasional untuk tindak KDRT. Pencatatan data kasus KDRT
dapat ditelusuri dari sejumlah institusi yang layanannya terkait sebagaimana
diatur dalam UU Penghapusan KDRT dan Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2006
tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban kekerasan Dalam Rumah
Tangga. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau disebut Komnas
Perempuan, mencatat bahwa di tahun 2006 sebanyak 22.512 kasus kekerasan
terhadap perempuan dilayani oleh 258 lembaga di 32 propinsi di Indonesia 74%
diantaranya kasus KDRT dan terbanyak dilayani di Jakarta (7.020 kasus) dan Jawa
tengah (4.878 kasus).
Data tahun 2007 Mitra Perempuan Women’s
Crisis Center (WCC) mencatat 87% dari
perempuan korban kekerasan yang mengakses layanannya mengalami KDRT, dimana
pelaku kekerasan terbanyak adalah suami dan mantan suaminya (82,75%). Fakta
tersebut juga menunjukkan 9 dari 10 perempuan korban kekerasan yang didampingi
WCC mengalami gangguan kesehatan jiwa, 12 orang pernah mencoba bunuh diri; dan
13,12% dari mereka menderita gangguan kesehatan reproduksinya.
Perempuan
berhak memperoleh perlindungan hak asasi manusia. Kekerasan terhadap perempuan
dapat berupa pelanggaran hak-hak berikut:
·
Hak atas kehidupan
·
Hak atas persamaan
·
Hak atas kemerdekaan dan keamanan
pribadi
·
Hak atas perlindungan yang sama di muka
umum
·
Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
fisik maupun mental
·
Hak atas pekerjaan yang layak dan
kondisi kerja yang baik
·
Hak untuk pendidikan lanjut
·
Hak untuk tidak mengalami penganiayaan
atau bentuk kekejaman lain, perlakuan atau penyiksaan secara tidak manusiawi
yang sewenang-wenang.
Kekerasan
Terhadap Perempuan Dari Perspektif Gender.
Seringkali kekerasan pada perempuan
terjadi karena adanya ketimpangan atau ketidakadilan jender. Ketimpangan jender
adalah perbedaan peran dan hak perempuan dan laki-laki di masyarakat yang
menempatkan perempuan dalam status lebih rendah dari laki-laki. “Hak istimewa”
yang dimiliki laki-laki ini seolah-olah menjadikan perempuan sebagai “barang”
milik laki-laki yang berhak untuk diperlakukan semena-mena, termasuk dengan
cara kekerasan.
Faham gender memunculkan perbedaan
laki-laki dan perempuan, yang sementara diyakini sebagai kodrat Tuhan. Sebagai
kodrat Tuhan akibatnya tidak dapat dirubah. Oleh karena gender bagaimana
seharusnya perempuan dan laki-laki berfikir dan berperilaku dalam masyarakat.
Perbedaan perempuan dan laki-lakiakibat gender ternyata melahirkan ketidak
adilan dalam bentuk sub-ordinasi,dominasi, diskriminasi, marginalisasi,
stereotype. Bentuk ketidak adilan tersebut merupakan sumber utama terjadinya
kekerasan terhadap perempuan.Hal tersebut di atas terjadi karena adanya
keyakinan bahwa kodrat perempuan itu halus dan posisinya di bawah laki-laki,
bersifat melayani dan tidak sebagai kepala rumah tangga. Dengan demikian maka
perempuan disamakan dengan barang (properti) milik laki-laki sehingga dapat
diperlakukan sewenang-wenang.Pola hubungan demikian membentuk sistem patriarki.
Sistem ini hidup mulai dari tingkat kehidupan masyarakat kelas bawah, kelas
menengah danbahkan sampai pada tingkat kelas tinggi. Mulai dari individu,
keluarga,masyarakat dan negara. Negara mempunyai kepentingan untuk mengatur
posisi perempuan dengan mencantumkan pasal poligami dalam U U No. 1 Tahun 1974.
3.2 Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan
Mencermati pendapat dari para ahli
mengenai istilah-istilah yang dipakaiuntuk menyatakan bentuk-bentuk kekerasan
terhadap perempuan nampaknya belaum ada kesamaan istilah, ada yang memakai
bentuk-bentuk, ada yang memakai jenis-jenis. Dalam kaitan itu penulis condong
memakai bentuk-bentuk sesuai dalam U U No. 23 Tahun 2004. Kristi E Purwandari
dalam Archie Sudiarti Luhulima mengemukakanbeberapa bentuk kekerasan sebagai
berikut:
a) Kekerasan
fisik
Tindak
kekerasan fisik adalah tindakan yang bertujuan melukai, menyiksa atau
menganiaya orang lain. Tindakan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan
anggota tubuh pelaku (tangan, kaki) atau dengan alat-alat lainnya seperti :
memukul, menampar, mencekik dan sebagainya.
b) Kekerasan
psikologis
Kekerasan
psikologi adalah tindakan yang bertujuan mengganggu atau menekan emosi korban.
Secara kejiwaan, korban menjadi tidak berani mengungkapkan pendapat, menjadi
penurut, menjadi selalu bergantung pada suami atau orang lain dalam segala hal
(termasuk keuangan). Akibatnya korban menjadi sasaran dan selalu dalam keadaan
tertekan atau bahkan takut.seperti : berteriak, menyumpah, mengancam,melecehkan
dan sebagainya.
c) Kekerasan
seksual, seperti : melakukan tindakan yang mengarahkeajakan/desakan seksual
seperti menyentuh, mencium, memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan korban
dan lain sebagainya.
d) Kekerasan
finansial, seperti : mengambil barang korban, menahan atau tidak memberikan
pemenuhan kebutuhan finansial dan sebagainya.
e) Kekerasan
spiritual, seperti : merendahkan keyakinan dan kepercayaankorban, memaksa
korban mempraktekan ritual dan keyakinan tertentu
3.3 Faktor - Faktor Penyebab Kekerasan Terhadap Perempuan
Aina
Rumiati Azis mengemukakan faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap
perempuan yaitu :
a) Budaya
patriarki yang mendudukan laki-laki sebagai mahluk superior dan perempuan sebagai
mahluk interior.
b) Pemahaman
yang keliru terhadap ajaran agama sehingga menganggap laki-laki boleh menguasai
perempuan.
c) Peniruan
anak laki-laki yang hidup bersama ayah yang suka memukul,biasanya akan meniru
perilaku ayahnya.
Berkaitan
dengan faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan, Sukerti
mengemukakan sebagai berikut :
1) Karena suami cemburu
2) Suami merasa berkuasa.
3) Suami mempunyai selingkuhan dan kawin lagi
tanpa ijin.
4) Ikut campurnya pihak ketiga (mertua).
5)
Suami memang suka berlaku kasar
(faktor keturunan).
6) Karena suami suka berjudi .
Dari beberapa faktor penyebab terjadi kekerasan
terhadap perempuan seperti telah disebutkan di atas faktor yang paling dominan
adalah budaya patriarki. Budaya patriarki ini mempengaruhi budaya hukum
masyarakat.
Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan Terhadap
Perempuan di Rumah Tangga
Tindak kekerasan adalah melakukan
kontrol, kekerasan dan pemaksaan meliputi tindakan seksual, psikologis, fisik
danekonomi yang dilakukan individu terhadap individu yang lain dalam hubungan
rumah tangga atau hubungan intim (karib).Kemala Candrakirana mengemukakan
kekerasan dalam rumah tangga adalah perbuatan yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan termasuk penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis dan penelantaran .Termasuk juga ancaman yang menghasilkan
kesengsaraan di dalam lingkup rumah tangga.
Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, Undang-Undang
No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).Di
dalam KUHP, pengertian kekerasan diatur dalam Pasal 89 KUHP yang menyatakan
bahwa”membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan denganmenggunakan
kekerasan”.Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, pada Pasal
1menegaskan mengenai apa yang dimaksud dengan “kekerasan terhadap perempuan”
yaitu setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelami yang berakibat atau
mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuansecara fisik, seksual
atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan
kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum maupun
dalam kehidupan pribadi. Mengenai batasan kekerasan terhadap perempuan yang
termuat pada Pasal 1 Deklarasi tersebut tidak secara tegas disebutkan mengenai
kekerasan dalam rumah tangga tetapi pada bagian akhir kalimat disebutkan ...
atau dalam kehidupan pribadi. Kehidupan pribadi dapat dimaksudkan sebagai
kehidupandalam rumah tangga. U U No. 23 Tahun 2004, secara tegas mengatur
pengertian kekerasandalam rumah tangga pada Pasal 1 butir 1. Kekerasan dalam
rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang
berakibattimbulmya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hokum dalam
ruang lingkup rumah tangga.
Kekerasan terhadap perempuan dapat
terjadi tanpa membedakan latar belakang ekonomi, pendidikan, pekerjaan, etnis,
usia, lama perkawinan, atau bentuk fisik korban Kekerasan adalah sebuah
fenomena lintas sektoral dan tidak berdiri sendiri atau terjadi begitu saja.
Secara prinsip ada akibat tentu ada penyebabnya. Dalam kaitan itu Fathul
Djannah mengemukakan beberapa faktornya yaitu :
a) Kemandirian
ekonomi istri. Secara umum ketergantungan istri terhadapsuami dapat menjadi
penyebab terjadinya kekerasan, akan tetapi tidak sepenuhnya demikian karena
kemandirian istri juga dapat menyebabkan istri menerima kekerasan oleh suami.
b) Karena
pekerjaan istri. Istri bekerja di luar rumah dapat menyebabkan istri menjadi
korban kekerasan.
c) Perselingkuhan
suami. Perselingkuhan suami dengan perempuan lain atau suami kawin lagi dapat
melakukan kekerasan terhadap istri.
d) Campur
tangan pihak ketiga. Campur tangan anggota keluarga daripihak suami, terutama
ibu mertua dapat menyebabkan suami melakukan kekerasan terhadap istri.
e) Pemahaman
yang salah terhadap ajaran agama. Pemahaman ajaranagama yang salah dapat
menyebabkan timbulnya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga.
f) Karena
kebiasaan suami, di mana suami melakukan kekerasan terhadap istri secara
berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan
Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga
dapat juga dikaji berdasarkan Teori Class dari Marx. Marx mengatakan bahwa ada
dua kelompoknyang berada pada posisi yang berbeda yaitu kelompok kapitalis di
satu sisi dan kaum buruh di sisi lainnya. Kaum kapitalis adalah kaum yang
menekan kaum buruh, kaum buruh berada pada posisi sub-ordinat dan tidak diuntungkan.
Berdasarkan Teori Marx tersebut dapat diasumsikan
bahwa kaum laki-laki itu adalah kaum kapitalis yang berada pada posisi lebih
tinggi, menentukan dan diuntungkan sedangkan kaum perempuan adalah kaum buruh
yang berada pada posisi lebih rendah dan tidak diuntungkan.
Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga
dapat berakibat buruk terutama terhadap si korban, anak-nank yakni dapat
berpengaruh terhadap kejiwaan korban dan perkembangan kejiwaan si anak dan juga
berdampak pada lingkungan sosial. Di samping itu dampak kekerasan terhadap
perempuan dalam rumah tangga yaitu dampak medis, seperti memerlukan biaya
pengobatan. Dampak emosional seperti depresi, penyalahan obat-obatan dan
alkohol, setres pasca trauma, rendahnya kepercayaan diri. Dampak pribadi seperti
anak-anak yang hidup dalam lingkungan kekerasan berpeluag lebih besar bahwa
hidupnya akan dibimbing oleh kekerasan, anak yang menjadi saksi kekerasan akan
menjadi trauma termasuk di dalam perilaku anti sosial dan depresi
3.4 Macam-Macam Kekerasan Terhadap Perempuan
a) Pelecehan
Seksual
Pelecehan seksual adalah segala macam
bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan
tidak diinginkan oleh orang yang menjadi sasaran. Pelecehan seksual bisa
terjadi dimana saja dan kapan saja, seperti di tempat kerja, di kampus/sekolah,
di pesta, tempat rapat, dll.
Pelaku pelecehan seksual bisa teman,
pacar, atasan di tempat kerja, dokter, dukun, dsb. Akibat pelecehan seksual,
korban merasa malu, marah, terhina, tersinggung, benci kepada pelaku, dendam
kepada pelaku, shok/trauma berat, dll
Langkah-langkah
yang perlu dilakukan korban:
·
Membuat catatan kejadian (tanggal, jam,
saksi)
·
Bicara kepada orang lain tentang
pelecehan seksual yang terjadi
·
Memberi pelajaran kepada pelaku
·
Melaporkan tindakan pelecehan seksual
·
Mencari bantuan/dukungan kepada
masyarakat
b) Perkosaan
Perkosaan adalah hubungan seksual yang
terjadi tanpa diinginkan oleh korban. Seorang laki-laki menaruh penis, jari
atau benda apapun ke dalam vagina, anus, atau mulut perempuan tanpa sekehendak
perempuan itu, bisa dikategorikan sebagai tindak perkosaan.
Perkosaan dapat terjadi pada semua
perempuan dari segala lapisan masyarakat tanpa memperdulikan umur, profesi,
status perkawinan, penampilan, atau cara berpakaian.
Berdasarkan
pelakunya, perkosaan bisa dilakukan oleh:
ü Orang
yang dikenal: teman, tetangga, pacar, suami, atau anggota keluarga (bapak,
paman, saudara).
ü Orang
yang tidak dikenal, biasanya disertai dengan tindak kejahatan, seperti
perampokan, pencurian, penganiayaan, atau pembunuhan.
Tindak perkosaan membawa dampak
emosional dan fisik kepada korbannya. Secara emosional, korban perkosaan bisa
mengalami stress, depresi, goncangan jiwa, menyalahkan diri sendiri, rasa takut
berhubungan intim dengan lawan jenis, dan kehamilan yang tidak diinginkan.
Secara fisik, korban mengalami penurunan nafsu makan, sulit tidur, sakit
kepala, tidak nyaman di sekitar vagina, berisiko tertular PMS, luka di tubuh
akibat perkosaan dengan kekerasan, dan lainnya.
Perempuan
yang menjadi korban perkosaan sebaiknya melakukan langkah-langkah berikut:
ü Jangan
mandi atau membersihkan kelamin sehingga sperma, serpihan kulit ataupun rambut
pelaku tidak hilang untuk dijadikan bukti
ü Kumpulkan
semua benda yang dapat dijadikan barang bukti, misalnya: perhiasan dan pakaian
yang melekat di tubuh korban atau barang-barang milik pelaku yang tertinggal. Masukan
barang bukti ke dalam kantong kertas atau kantong plastik.
ü Segera
lapor ke polisi terdekat dengan membawa bukti-bukti tersebut, dan sebaiknya
dengan keluarga atau teman.
ü Segera
hubungi fasilitas kesehatan terdekat (dokter, puskesmas, rumah sakit) untuk
mendapatkan surat keterangan yang menyatakan adanya tanda-tanda persetubuhan
secara paksa (visum)
ü Meyakinkan
korban perkosaan bahwa dirinya bukan orang yang bersalah, tetapi pelaku yang
bersalah.
Dampak
kekerasan terhadap istri yang bersangkutan
adalah: mengalami sakit fisik, tekanan mental, menurunnya rasa percaya
diri dan harga diri, mengalami rasa tidak berdaya, mengalami ketergantungan
pada suami yang sudah menyiksa dirinya, mengalami stress pasca trauma,
mengalami depresi, dan keinginan untuk bunuh diri. Dampak kekerasan terhadap
pekerjaan si istri adalah kinerja menjadi buruk, lebih banyak waktu dihabiskan
untuk mencari bantuan pada Psikolog ataupun Psikiater, dan merasa takut
kehilangan pekerjaan. Dampaknya bagi anak adalah: kemungkinan kehidupan anak
akan dibimbing dengan kekerasan, peluang terjadinya perilaku yang kejam pada
anak-anak akan lebih tinggi, anak dapat mengalami depresi, dan anak berpotensi
untuk melakukan kekerasan pada pasangannya apabila telah menikah karena anak
mengimitasi perilaku dan cara memperlakukan orang lain sebagaimana yang
dilakukan oleh orang tuanya.
3.5 Dampak kekerasan Terhadap Perempuan
Menurut Suryakusuma (1995) efek psikologis penganiayaan
bagi banyak perempuan lebih parah dibanding efek fisiknya. Rasa takut, cemas,
letih, kelainan stress post traumatic, serta gangguan makan dan tidur merupakan
reaksi panjang dari tindak kekerasan. Namun, tidak jarang akibat tindak
kekerasan terhadap istri juga meng-akibatkan kesehatan reproduksi terganggu
secara biologis yang pada akhirnya meng-akibatkan terganggunya secara
sosiologis. Istri yang teraniaya sering mengisolasi diri dan menarik diri
karena berusaha menyembunyikan bukti penganiayaan mereka.
Masalah sosial budaya yang sangat erat kaitannya
dengan kesehatan reproduksi adalah kekerasan terhadap perempuan (KtP).
Deklerasi tentang Eliminasi Kekerasan
terhadap Perempuan PBB, mendefenisikan kekerasan terhadap perempuan sebagai
berikut:
Bentuk tindak kekerasan berbasis gender yang
berakibat, atau mungkin berakibat, menyakiti secara fisik, seksual, mental atau
penderitaan terhadap perempuan; termasuk ancaman dari tindakan tersebut,
pemaksaan atau perampasan semena-mena kebebasan, baik yang terjadi di
lingkungan masyarakat maupun dalam kehidupan pribadi.
Kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi dalam
keluarga,dalam masyarakat, atau yang dibenarkan negara dan sering disebut
sebagai kekerasan berbasis gender karena berawal dari subordinasi perempuan di
masyarakat dan tergantung baik secara ekonomi maupun secara sosial menempatkan
perempuan dalam posisi rentan terhadap kekerasan,termasuk penganiayaan berulang
oleh pasangannya.
Penelitian yang mengkaitkan tindak
kekerasan pada istri yang berdampak pada kesehatan reproduksi masih
sedikit. Menurut Hasbianto (1996),
dikatakan secara psikologi tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga
menyebabkan gangguan emosi, kecemasan, depresi yang secara konsekuensi logis
dapat mempengaruhi kesehatan reproduksinya.
Menurut model Dixon-Mudler (1993) tentang kaitan antara kerangka
seksualitas atau gender dengan kesehatan reproduksi; pemaksaan hubungan seksual
atau tindak kekerasan terhadap istri mempengaruhi kesehatan seksual istri. Jadi tindak kekerasan dalam konteks kesehatan
reproduksi dapat dianggap tindakan yang mengancam kesehatan seksual istri,
karena hal tersebut menganggu psikologi istri baik pada saat melakukan hubungan
seksual maupun tidak.
Kekerasan terhadap perempuan dapat berdampak fatal
berupa kematian, upaya bunuh diri dan terinfeksi HIV/AIDS. Selain itu,
kekerasan terhadap perempuan juga dapat berdampak non fatal seperti gangguan
kesehatan fisik, kondisi kronis, gangguan mental, perilaku tidak sehat serta
gangguan kesehatan reproduksi. Baik dampak fatal maupun non fatal, semuanya
menurunkan kualitas hidup perempuan.
3.6 Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan
Pencegahan dan penanganan kekerasan
terhadap perempuan, masyarakat menyadari bahwa kekerasan terhadap perempuan sebagai
masalah yang perlu diatasi. Diantaranya dengan :
Ø Menyebarluaskan
produk hukum tentang pelecehan seks di tempat kerja.Membeli perempuan tentang
penjagaan keselamatan diri. Melaporkan tindak kekerasan pada pihak berwenang.
Ø Peran
petugas kesehatan dalam mencegah kekerasan terhadap perempuan di antaranya
melakukan penyuluhan untuk pencegahan dan menanganan kekerasan terhadap
perempuan.
Ø Meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan.
Bermitra dan berpartisipasi dalam pengembangan jaringan kerja untuk
menanggulangi masalah KtP dengan instansi terkait, lembaga social masyarakat.
Sebagai suatu bentuk kejahatan, tindakan
kekerasan agaknya tidak akan pernah hilang dari muka bumi ini, sebagaimana pula
tindak-tindak kejahatan lainnya. Namun, bukan berarti tindakan kekerasan ini
tidak dapat dikurangi.
Pemecahan yang menyeluruh untuk mencegah
tindak kekerasan terhadap perempuan seharusnya berfokus pada masyarakat
sendiri, yakni dengan mengubah persepsi mereka tentang tindak kekerasan
terhadap perempuan. Dalam hal ini, harus diubah pandangan masyarakat yang
selalu menganggap bahwa perempuan hanyalah warga negara kelas dua (second class
citizen). Kekerasan dalam rumah tangga dapat diatasi dengan adanya saling pengertian diantara pasangan suami istri,
saling percaya, keterbukaan, saling membantu,
saling memafkan, saling menghargai, saling mencintai, kesetaraan gender, pembagian tugas yang jelas
antara suami dan istri, terpenuhinya kebutuhan
hidup, dll.
Ketidakpedulian masyarakat terhadap
masalah tindak kekerasan terhadap perempuan pun harus diubah. Dalam hal ini,
struktur sosial, persepsi masyarakat tentang perempuan dan tindak kekerasan
terhadap perempuan, serta nilai masyarakat yang selalu ingin tampak harmonis
dan karenanya sulit mengakui akan adanya masalah dalam rumah tangga, merupakan
tiga hal pokok penyebab yang mendasari ketidakpedulian tersebut.
Untuk itu, dibutuhkan suatu pendidikan
publik/penyuluhan untuk membuat masyarakat menyadari akan hak-hak dan kedudukan
perempuan dalam masyarakat, dan yang secara khusus menjelaskan tindak kekerasan
terhadap perempuan, termasuk tentang hak-hak mereka, dan juga tentang
tindakan-tindakan yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya tindak
kekerasan terhadap perempuan.
KUHP sebagai salah satu sumber hukum
pidana yang mempunyai kaitan langsung dengan tindak kekerasan terhadap
perempuan, dapat dijadikan instrumen dalam penanggulangan secara yuridis.
Namun, kelemahan yang dimiliki oleh KUHP peninggalan kolonial sudah seharusnya
dibenahi dengan membuat KUHP nasional. Sebab seperti diketahui, masih banyak
perilaku tindak kekerasan terhadap perempuan yang belum tercantum di dalam
KUHP.
Pemberlakuan prosedur yang baku dalam
hal penanganan kasus-kasus yang berkenaan dengan tindak kekerasan terhadap
perempuan oleh aparat penegak hukum itu diperlukan. Sebab, seringkali
penanganan terhadap kasus tindak kekerasan terhadap perempuan itu berbeda-beda
tergantung kemampuan individu yang dimiliki oleh personil penegak hukum.
Prosedur itu harus berorientasi pada korban dan melakukan upaya awal untuk
membantu korban dalam mengatasi trauma yang dialaminya akibat tindak kekerasan
yang menimpanya.
Pendidikan kesehatan merupakan upaya
memberikan penjelasan kepada perorangan, kelompok atau masyarakat untuk
menumbuhkan pengertian, dan kesadaran mengenai perilaku sehat atau kehidupan
yang sehat.
Selama ini hak kontrol perempuan atas
tubuhnya sendiri belum banyak dilakukan, karena peran dan posisi mereka yang
dibedakan oleh masyarakat. Ketika wacana gender masuk dengan mengeritisi konsep
pembedaan perlakuan perempuan dan laki-laki berdasarkan; perempuan di Indonesia
paham atas pilihan-pilihannya termasuk hak reproduksinya. Hal itu hanya dapat
diketahui melalui penelitian kuantitatif dan kualitatif. Namun, yang dapat kita
lakukan saat ini ialah tetap menyosialisasi hak-hak perempuan yang terkait
dengan konsep gender sehingga penyadaran atas posisi dan peran mereka dalam
memutuskan hak reproduktifnya terbangun secara perlahan-lahan.
Sektor kesehatan masyarakat harus
bekerja sama dengan kepolisian, sistem hukum pidana, pendidikan, kesejahteraan
sosial, ketenagakerjaan, dan sektor lain untuk menghadapi persoalan kekerasan
terhadap perempuan. Keterpaduan para penyedia layanan dari keempat sektor itu
penting untuk pemulihan medis, psikologis, hukum, dan psikososial pada korban.
Dukungan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah sangat diperlukan untuk memberi landasan hukum dan operasional serta
alokasi anggaran untuk memastikan layanan bagi perempuan korban kekerasan dapat
berjalan.
Komitmen Komnas
Perempuan
Sebagai Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang independen, sesuai mandatnya Komnas
Perempuan memfokuskan diri pada upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan
serta upaya menciptakan suasana kondusif bagi pemenuhan hak asasi perempuan,
termasuk hak-hak perempuan korban kekerasan, yaitu hak atas kebenaran, keadilan
dan pemulihan. Untuk mewujutkan mandatnya kmnas perempuan bekerja dengan
membentuk 4 sub komisi, yaitu sub komisi Reformasi Hukum,Sub Kom
Pemulihan,Sukom Pemantauan dan Sub Kom Litbang dan Pendidikan.
Komnas Perempuan dalam menjalankan
mandatnya bermitra kerja dengan institusi pemerintah, LSM,Organisasi sosial dan
budaya, organisasi agama dan PT di pusat maupun daerah, regional maupun
internasional.
Sub Kom
Reformasi Hukum dan Kebijakan pada periode 2007-2009 salah satu program
kerjanya menjalin hubungan dengan aparat
penegak hukum dan organisasi kemasyakatan sipil (Penguatan Penagak Hukum/PPH).
Hasil dari kerjasama ini telah terwujud dari Sistem Peradilan Pidana Terpadu
(SPPT) antara aparat penegak hukum dan para advokat/pengacara.
“Pertama, pencegahan kekerasan dan
penanganan yang salah terhadap anak. Anak-anak yang mengalami kekerasan dan
terpapar pada orangtua yang saling menyakiti lebih berisiko mengalami hubungan
yang menyakitkan, baik sebagai pelaku maupun korban," ujar Garcia-Moreno.
"Kedua, pemberdayaan perempuan,
dengan pemberian akses terhadap pendidikan menengah, akses untuk pekerjaan,
peluang ekonomi. Ketiga, intervensi terkait norma-norma sosial. Masih banyak
negara yang menganggap kekerasan terhadap permpuan adalah sesuatu yang dapat
diterima."
WHO mencatat bahwa membicarakan
kekerasan terhadap perempuan dianggap tabu di banyak negara, jadi penyiksaan
terus berlanjut. Organisasi ini mengatakan kesadaran dan diskusi terbuka
mengenai masalah ini adalah kunci pencegahan.
Panduan-panduan baru dari WHO menekankan
pentingnya pelatihan di semua tingkat pekerja kesehatan untuk menyadari ketika
perempuan berisiko mengalami kekerasan dari pasangannya dan untuk mengetahui
bagaimana mengatasi masalah tersebut. WHO mengatakan pemberlakuan dan
penegakkan undang-undang lebih banyak dan lebih baik adalah penting untuk
mengekang kekerasan terhadap perempuan.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari uraian yang telah dijelaskan diatas
dapat disimpulkan bahwa Kekerasan terhadap perempuan dapat berdampak fatal
berupa kematian, upaya bunuh diri dan terinfeksi HIV/AIDS. Selain itu,
kekerasan terhadap perempuan juga dapat berdampak non fatal seperti gangguan
kesehatan fisik, kondisi kronis, gangguan mental, perilaku tidak sehat serta
gangguan kesehatan reproduksi. Baik dampak fatal maupun non fatal, semuanya
menurunkan kualitas hidup perempuan.
4.2 Saran
Dengan melihat serangkaian uraian diatas,
maka dapat dikatakan kekerasan terhadap perempuan yang lebih dominan yaitu KDRT
yang merupakan bagian dari isu kesehatan masyarakat yang patut diperhatikan.
maka dari itu harus memajukan kebijakan yang aktif dan nyata yang mendorong masuknya
perspektif jender ke dalam semua kebijakan dan program-program yang berhubungan
dengan tindak kekerasan terhadap perempuan serta sebagai petugas kesehatan diharapkan
mampu melakukan penyuluhan untuk pencegahan dan menanganan kekerasan terhadap perempuan.